a good place to hide, screaming underwater

nattahimmel
3 min readNov 25, 2023

--

Langit begitu sepi belakangan—diisi muram kelabu dan guyuran deras yang memaksa daratan menjadi kuyup. Natta mengeratkan pegangannya pada kenop yang semakin sulit dibuka setiap kali ia menemukan dirinya kembali ke hadapan pintu putih ini.

Suaranya hilang dibalik tenggorokan yang tercekat sesak, merasa menyedihkan sewaktu sebelah tangannya kembali mengusir jejak basah di pipi. Ini adalah tragedinya, milik Natta seorang—hal yang tak akan pernah dapat ia bagi kepada siapapun selain Natta diusia delapan.

Kamar masa kecilnya.

Ruang sempit yang diapit empat bagian dinding dengan cat biru muda yang telah memudar, beberapa sudutnya diisi coret-coretan krayon dan stiker yang pernah Natta dapatkan dari kotak sereal. Lampu tidur berbentuk lentera yang sudah kehilangan fungsinya setelah jatuh ke lantai dan dua buah rak kayu yang diisi buku cerita anak dan komik tahun sembilan puluhan.

Natta kembali ke sini hanya untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa luka itu sudah menutup dan tak lagi mendarah, namun sayang harus diakui bahwa sembuh itu adalah khayal yang bersusah payah Natta percaya sepanjang usia dua puluhnya.

Luka yang Natta tanggung dari ingatannya dua dekade lalu memang sudah tidak semenakutkan sewaktu ia menerimanya, namun rasa sakit itu tidak pernah berkurang. Sekalipun tubuhnya bertumbuh, usianya menua, Ibunya tiada, seluruh dunia dijangkiti, atau hujan yang mulai mengguyur di luar jendela—Natta tidak akan pernah menemukan dirinya baik-baik saja.

Sakit dari luka-luka itu masih diisi oleh suara Papah, masih dibayangi jejak telapak tangan dan benturan yang menyisakan merah darah di ujung kaki tempat tidur dalam kamarnya. Serapan dan hal-hal mengerikan yang tak seharusnya diukir dengan sayatan kata-kata dalam hati seorang anak, memaksanya menelan kenyataan bahwa Papah bukan pahlawan seperti cerita teman-teman Natta tentang ayah mereka.

Pria yang hobi berteriak itu bak monster dari buku cerita. Presensinya adalah duri di dalam rumah, yang tidak dapat dipangkas atau digugurkan sebab juga mematikan hati Ibu yang masih mempercayai cintanya.

Dan Natta diusia delapan hanyalah anak kecil yang bersembunyi di balik pintu sambil memegangi tongkat baseball plastiknya, menunggu perdebatan Ibu dan Papah yang sewaktu-waktu mungkin berubah menjadi pukulan atau benturan menyakitkan.

Namun hari ini Natta menemukan dirinya duduk di tepian ranjang yang berderit samar, memandangi bingkai foto di atas nakas yang telah berdebu. Foto keluarga yang pernah menemani khayal Natta bahwa rumah ini baik-baik saja, bisikan Ibu yang menenangkan sekalipun teriakan Papah menggelegar di luar pintu kamarnya.

"Udah lama ya Bu," bisik Natta parau, "tapi lukanya nggak mau sembuh, sakitnya masih seperti dikoyak-koyak. Makin besar, Natta makin nggak bisa maafin Papah. Nggak apa-apa kan, Bu?"

Natta menghela nafasnya, kembali ngusap pipi dengan punggung tangan kiri. Kepalanya menoleh ke arah jendela yang dihalau tirai tipis yang dijahit tangan oleh ibunya. Tangan Natta terulur untuk menyibak kain putih bermotif bunga jalar itu, menemukan hujan menyambangi daratan dengan derasnya.

"Dulu hanya hujan yang pernah bikin rumah kita senyap ya, Bu. Sekarang setelah Ibu dan Papah nggak ada, hanya ada isi kepala Natta yang berisik."

--

--

nattahimmel

Sesekali bersinggah untuk berbagi meski tidak banyak yang bisa diberi :)